Produksi massal makanan instan telah menyingkirkan pangan lokal, menggusur tanah, merusak air, dan mengancam ekosistem desa. Lalu, secara perlahan membunuh keberlangsungan kehidupan bumi, termasuk membunuh identitas kebudayaan. Ini berlangsung dalam sistem dan mekanisme yang dengan sengaja dipelihara oleh kekuasaan didukung oleh perangkat kekuasaan.
Dibutuhkan ruang yang dibuat dengan sengaja dan dikelola secara bersama, untuk secara terus menerus berefleksi tentang bumi yang dipijak dan masa depan yang ingin diciptakan, melihat ulang semesta alam dan kebudayaan yang terbentuk darinya untuk bisa memaknai kehidupan bersama.
Dibutuhkan ruang yang cukup untuk desa, untuk perempuan , untuk masyarakat saling berjumpa membincangkan situasi desa, sambil belajar dan berbagi pengetahuan, untuk saling menginspirasi.
Desa dan masyarakatnya membutuhkan ruang untuk saling menguatkan, saling bekerjasama dan saling menemukan cara belajar dan bekerja yang menempatkan kehidupan masyarakat desa bersama dengan alamnya bisa selaras.
Juga, sebuah ruang yang memperlihatkan kekuatan kebudayaan dalam desa untuk diakui dan menjadi salah satu penentu dalam konsep pembangunan, sekaligus menampakkan persoalan-persoalan pengelolaan pangan lokal di desa. Dan, tentu saja, desa adalah tempat dimana perjuangan perdamaian dan keadilan dapat dimulai, berkembang dan dikuatkan.
Sejak 2016 hingga 2018, Festival Mosintuwu dilakukan secara berkala setiap tahunnya. Kebutuhan untuk berefleksi dan pemaknaan terus menerus agar tidak sekedar sebuah rutinitas mendorong keputusan untuk melaksanakannya setiap dua atau tiga tahun.
